Selasa, 23 Desember 2008

opini

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis
oleh -mz Gempur
KEPENTINGAN pragmatis partai politik untuk meraup suara dalam waktu singkat memunculkan
beragam upaya untuk merebut simpati generasi muda yang tidak peduli kepada politik.
Meilan Saidui (20), mahasiswi semester pertama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di lamongan,
, asyik menonton sinetron Kawin Massal. Walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00,
tak henti-hentinya dia bercerita tentang idolanya, Agnes Monica, yang cantik, jago akting, dan
merdu suaranya.
Jangan tanya Meilan tentang tokoh politik atau pemerintah. Alisnya langsung mengkerut dan
bibirnya tertutup rapat., Faradilah (19), mahasiswa semester V STMIK Muhamadiyah banyak
mengisi waktunya dengan nonton sinetron dan infotainment. Acara berita, jarang ditonton.
Demikian juga Mad Fadhol (17) dan Isti Wijayanti, keduanya siswa SMA Negeri 1 Lamongan yang
sukanya menonton siaran olahraga dan reality show.
Kalangan mahasiswa, Nuzula dari Universitas Islam Lamongan dan Hety Apriliastuti dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta juga mengakui lebih banyak tertarik pada hiburan dan infotainment
daripada memerhatikan berita politik. ”Di jalan-jalan sih belakangan ini banyak tempelan poster
wajah caleg, tapi enggak kepikiran,” kata Hety.
Kalau sudah begitu, rasanya tidak aneh ketika Nuzula mengaku tidak tahu kapan pemilu akan
dilaksanakan. Kalau tanggalnya saja tidak tahu, bagaimana dengan profil calon legislatif maupun
program partai?
”Jangankan memahami caleg, siapa atau bagaimana, partai yang mengusungnya pun saya hanya
tahu satu atau dua,” tukas Nurhayati (20), mahasiswi
Tak kenal caleg
Lewat jajak pendapat yang dilakukan Litbang barnas terhadap 221 orang berusia 17-21 tahun
yang didefinisikan sebagai pemilih pemula atau memilih untuk pertama kalinya, hanya 2,3 persen
yang mengakui tahu banyak tentang program partai politik.
”Tidak ada caleg yang saya kenal, malah saya tidak ingat nama menteri dan dari partai mana dia
berasal,” kata Anto (21), warga Kota Soto Lamongan yang berprofesi sebagai tukang parkir dengan
pendapatan Rp 60.000 per hari.
Walaupun demikian, 80,5 persen menyatakan akan ikut dalam pemilu, baik legislatif maupun
presiden. Keinginan untuk ikut memilih ini disambut positif oleh Direktur Eksekutif Centre for
Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.
Menurut dia, walau 67,4 persen motivasi mereka hanya untuk menunaikan hak dan sebagian
menyebutnya kewajiban, ini adalah hal positif yang bisa menjadi dasar pemikiran bahwa pemilu
adalah hal penting.
Gancar Tri Wicaksono (18), atlet biliar dari Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto mengaku
antusias untuk ikut Pemilu 2009. Ia sangat berharap lewat pemilu nanti akan terpilih anggota
legislatif yang membawa perubahan di bidang ekonomi sehingga harga BBM dan makanan tidak
naik terus. ”Lewat kawan-kawan dan isu yang berkembang bisa ketahuan mana yang baik,”
katanya.


Para pemilih pemula ini rupanya memandang kejujuran sebagai kriteria utama mereka memilih
anggota legislatif atau presiden. Pengalaman kepemimpinan juga dianggap perlu, tanpa
memedulikan usia ataupun program.
Melihat potensi pemilih pemula yang menggiurkan—jumlahnya mencapai sekitar 36 juta orang atau
19 persen dari pemilih total—mayoritas partai politik menyusun strategi untuk merebut suara
mereka.
Strategi parpol
Mengakui kesulitan untuk menembus dinding ketidakpedulian para pemilih muda ini, Partai Golkar
dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengambil langkah pembentukan citra. Mereka
mengadakan acara-acara yang sepertinya cocok dengan selera anak muda.
Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar bercerita bagaimana anak-anak dari anggota Partai
Golkar, misalnya, yang tergabung di G23 mengadakan pertandingan futsal dan band indie.
Diharapkan, lewat acara ini terjadi pertemanan yang kemudian membuat anak-anak muda tertarik
memilih Golkar. ”Anak-anak muda ini tidak sampai berpikir apakah kepentingan mereka
diakomodasi Golkar, yang penting image,” kata Rully.
Hal serupa dilakukan PDI-P, yang 11 Januari 2008 mendeklarasikan Taruna Merah Putih. Menurut
ketuanya, Maruarar Sirait, pihaknya mengadakan kegiatan seperti bimbingan belajar, pelatihan
komputer. Melalui kegiatan tersebut PDI-P ingin membangun citra. Soal pendidikan politik, itu
dilakukan sambil jalan.
Sementara Partai Keadilan Sejahtera berupaya memupus citra sebagai partai eksklusif dengan
organisasi bernama Gema Keadilan (GK). GK dibuat untuk meraih pemilih pemula dan anak muda.
Menurut ketuanya, Rama Pratama, penjaringan diambil dari simpul-simpul massa dari komunitas
yang sudah ada, seperti Jakmania, suporter Persija.
Mereka juga berusaha membuka diri terhadap komunitas yang selama ini tidak tersentuh, seperti
preman serta komunitas musik Slank dan Iwan Fals. ”Kalau soal pendidikan politik, yah proseslah,”
katanya.
Bentuk bimbingan tes dan olahraga dilakukan Partai Demokrat untuk meraih simpati pemilih
pemula. Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menargetkan kedekatan psikologis lewat
kegiatan sporadis.
Terkait itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo,
mengomentari, upaya yang dilakukan parpol-parpol itu bukanlah pendidikan politik, bahkan bisa
dikatakan memanipulasi. ”Mereka hanya berusaha mengubah paradigma bahwa politik itu adalah
kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar